Allah tak pernah mengharamkan cinta.
Cinta adalah sebuah rasa yang sudah menjadi fitrah bagi setiap umat
manusia. Namun, manusia diperintahkan untuk menjaga agar cinta itu tidak
lantas menjerumuskannya pada tindakan yang diharamkan-Nya. Cinta
haruslah menjadi media untuk mendekat kepada-Nya. Cinta yang seperti
apakah yang sekiranya mampu mendekatkan kita kepada Sang Pemberi Cinta?
Sebut saja, cinta dalam diam.
Cinta dalam diam menurut Islam adalah
cara mencintai yang dirasa paling tepat ketika diri belum mampu terikat
dalam sebuah ikatan suci, yaitu pernikahan. Jika belum mampu mencintai
dan dicintai dalam ikatan pernikahan, cinta dalam diam merupakan jawaban
atas segala kegalauan hati. Bagaimanakah cara memperjuangkan cinta
dalam diam?
Jangan Jatuh Cinta, tetapi Bangun Cinta
“Kini aku tersadar, bahwa sendiri adalah
status terbaik sebelum menikah. Kesucian diri, tulusnya cinta, dan
besarnya pengorbanan, hanya untuk orang yang sudah dihalalkan bagi kita.
Maka sebelum nikah kita harus bersabar dalam kesendirian. Kita padatkan
waktu untuk berprestasi. Tak perlu lagi kita galau soal jodoh. Kalau
diri kita berkualitas. Jodoh yang berkualitas akan dihadirkan untuk kita,” (Ahmad Rifa’i Rif’an).
Persoalan tidak akan selesai hanya
dengan kita mengatakan, “Allah, aku mencintainya.” Lantas, apakah yang
menjadi bukti bahwa perasaan itu adalah cinta karena Allah? Ya, sebuah
perjuangan. Sebuah perjuangan untuk membangun cintalah yang akan kita
lakukan setelah rasa bernama cinta itu hadir. Cinta tak semestinya
memaksa diri untuk melupakan, tetapi cinta juga tak boleh memaksa diri
untuk memiliki. Perasaan cinta haruslah dikelola agar rasa cinta dapat
tumbuh ataupun mengkerut sewajarnya. Memantaskan diri merupakan cara
untuk mencintai dalam diam.
Tidak Harus Dia, tetapi Harus karena Dia
“Ketika hatimu terlalu berharap kepada
seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan
supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap
selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu
kembali berharap kepada-Nya,” (Imam Syafi’i).
Apakah kita sungguh yakin bahwa dialah
jodoh kita? Jodoh itu mungkin saja teman kita, atau orang yang baru saja
kita temui di suatu tempat, atau seseorang yang dulunya kita ikhlaskan.
Jodoh itu bisa saja orang tua atau wali kita yang mencarikan, atau
teman kita yang menjodohkan. Bagaimana pun juga, jodoh itu bukan hanya
perihal cinta, tetapi juga tentang rencana Allah kepada kita. Bukan
cinta yang pada akhirnya membuat kita berjodoh dengan seseorang, tetapi
Allah-lah yang menjodohkan. Tentunya, semua telah tertulis dalam Lauful
Mahfuzh. Jadi, janganlah kita mencintai seseorang melebihi cinta kita
kepada Allah. Cukuplah cinta dalam diam dan serahkan sepenuhnya kepada
Allah. Setelah usaha cinta dalam diam ini yang bisa kita lakukan ialah
mengikhlaskan semuanya kembali kepada Allah.
Dalam proses mengikhlaskan sembari terus
berusaha menjadi seorang muslim/muslimah yang baik, tetap berdoalah
kepada Allah yang mengetahui rasa cinta yang dirasakan. “Ya Allah,
ampuni aku karena sampai detik ini aku masih menyimpan sebuah rasa cinta
kepada salah satu hamba-Mu yang jauh di sana. Ya Allah, jika memang
rasa cinta ini membuatku jauh dari-Mu, maka hilangkanlah. Kumohon
pertemukan aku dengan orang yang mencintai-Mu di atas segalanya, yang
mencintaiku karena-Mu dan yang kucintai karena-Mu. Namun, jika memang
rasa cinta ini membuatku mendekat kepada-Mu dan dialah yang Kau tetapkan
sebagai jodohku, maka pertemukanlah kami di waktu yang tepat. Di saat
kami telah siap, pertemukan kami dalam kesucian cinta-Mu.”
Mencintalah dengan bijak. Tak perlu
terlalu berharap terhadap cinta yang dirasa, cukuplah cinta dalam diam.
Berdoalah pada Yang Maha Kuasa atas segala pilihan terbaik-Nya. Semoga
kita akan mendapatkan pilihan yang benar-benar terbaik dan menjadi
pendamping dunia dan akhirat. Wallahualam bisawab.
0 komentar:
Posting Komentar